<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d4196416790633888123\x26blogName\x3dPasukan+Bumi\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://pasukanbumi.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://pasukanbumi.blogspot.com/\x26vt\x3d1040971366761521496', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
PASUKAN BUMI !

Friday, February 20, 2009
PASUKAN BUMI

Saya dengar nama Pasukan Bumi ini dari Toto, salah satu personelnya. Waktu dengar pertama memang agak aneh, kedengaran mirip Laskar Pelangi yang waktu itu masih belum populer. Atau kelompok ekstrim pecinta alam yang bekerja membela bumi mati-matian.. Kelompok seni rupa kok namanya Pasukan Bumi. Apalagi ketika Toto mengutarakan idenya untuk mengajak dua 'kubu' seniman muda dari Bandung dan Jogjakarta dalam kelompok ini. Wah, ini pasti tidak akan jauh-jauh dari 'isu urban', secara mereka memang anak-anak muda. Saya menduga pasti akan jauh melenceng dari nama Pasukan Bumi yang lebih mirip nama kelompok pecinta alam itu.

Terus saya bertemu dengan Toto, Rifqi, dan Wayan, sebagai anggota Pasukan Bumi yang berdomisili di Jogja. Konsep awal mereka, mereka mempunyai beberapa seni rupa berjenis 'objek' dan beberapa rancangan karya seni rupa yang di luar kebiasaan mereka. Dengan materi ini, mereka ingin mengerjakan sebuah projek yang berbeda dengan kebiasaan mereka. Lalu kami membicarakan kemungkinan mereka membuat projek di luar ruang. Tentu saja, projek ini akan bersinggungan dengan ruang-ruang terbuka yang diakses oleh siapa saja (ruang publik). Dengan ini, materi yang akan mereka bawa, akan mengalami interaksi dan respon apapun dari para pengguna ruang terbuka yang lain, seperti pejalan kaki, pengendara motor, dan sebagainya. Ini yang kemudian kami diskusikan. Saya melihat tidak ada kaitam langsung projek ini dengan isu-isu lingkungan kontemporer, seperti global warming dan semacamnya, tapi ya tetap saja ada urusannya dengan lingkungan. Mereka mempunyai cara sendiri untuk melihat isu lingkungan dengan kacamata mereka sebagai anak muda yang tumbuh dan bekerja di kota semacam Bandung dan Jogja ini. Lama-lama saya merasa nama ini cukup unik juga untuk melihat kelompok ini dan respon mereka terhadap isu lingkungan. Mereka adalah anak-anak muda yang dibesarkan dalam lingkungan akademik kampus setelah angakatn 98 yang bertensi politik tinggi. Dalam generasi mereka, isu-isu besar tidak lagi ditanggapi dengan kemarahan dan kekerasan, tetapi ditanggapi dengan melihat apa yang dekat dengan keseharian mereka. Untuk itu, saya merasa perlu untuk melihat materi karya awal mereka yang diajukan dalam proposal projek ini.

Kami lalu melihat bersama materi karya-karya yang sudah ada. Kelompok ini unik karena mereka hanya berdiskusi via online dengan para teman-temannya di Bandung. Dan konon, sebelumnya mereka belum bertatap muka secara langsung. Tentunya dengan kondisi seperti itu, karakter kelompok ini tidak bisa disatukan begitu saja dengan gagasan yang tertentu. Setelah cukup lama berdiskusi, saya melihat ada satu hal yang sama yang coba mereka utarakan dalam bentuk-bentuk karya mereka. Yaitu penggunaan benda-benda domestik ataupun citra-citranya. Dari benda-benda yang biasanya berada di dekat kita secara pribadi, seperti remote kontrol, bath tub, lemari es, gaun, telepon, dan bulu, akan dibawa ke ruang publik. Ide seseprti itu pulalah yang kebanyakan lagi mereka asyiki saat ini. Jadilah sebuah projek yang dinamai “Invasi Objek Privat”. Projek ini dilangsungkan di Jogja dan juga Bandung. Di Jogja mereka melakukan serangkaian program, mulai dari launching acara di IVAA, presentasi, dan dilanjutkan dengan menyatroni ruang-ruang publik di beberapa titik di Jogjakarta.

Proses membawa karya ke publik menjadi cukup 'aneh' untuk sebuah acara seni rupa luar ruang. Mereka tidak dalam tatacara mengerjakan patung publik (walaupun kebanyakan karya mereka tiga dimensional). Apalagi kalau dibandingkan dengan patung-patung pahlawan yang menghiasi tempat-tempat utama di kota-kota besar kita. Tidak ada pretensi yang semacam itu, misalnya monumental atau secara gigantis menyentak padangan mata pengguna jalan. Karya-karya mereka berupa objek-objek kecil dan sedang (yang terbesar paling-paling dua meteran), dan secara bobot sangat ringan dan kadang-kadang membutuhkan interaksi dengan penggunanya untuk dikenali keberadaannya.

Ini yang kemudian sempat dikhawatirkan oleh kurator seni Suwarno Wisetrotomo yang menjadi pembuka launching projek ini. Beliau mengkhawatirkan ke'efektif'an karya-karya ini ketika berada dalam luar ruang (atau ruang publik). Jangan sampai karya-karya itu hanya memindahkan sebuah karya dari dalam galeri ke luar ruangan, demikian wejangannya kala itu.

Dari sinilah, justru pandangan itu diabaikan sama sekali oleh anak-anak muda ini. Mereka bukanlah sekelompok seniman yang concern secara khusus pada seni ruang publik. Di karya-karya ini, mereka melakukan eksperimen menghadirkan karya dalam habitat yang tidak sewajarnya, misalnya membawa pesawat telepon ke sebuah lapangan. Atau memakai pakaian berbentuk remote kontrol di trotoar. Atau sebentuk patung burung onta berkaki manusia di alun-alun. Kemudian yang mereka kejar adalah reaksi dan respon dari masyarakat lain pengguna ruang-ruang itu.

Mereka tidak mempersolkan secara serius problem display sebagaimana karya-karya luar ruang konvensional. Apakah nyambung dengan lingkungan sekitar atau tidak itu nomer kesekian. Bagi kelompok ini, karya seni menjadi ibarat manusia pengguna ruang publik, yang bisa masuk dan keluar dari ruang itu dengan sesukanya, walaupun ada syarat-syarat dan aturan-aturan tertentu di masing-masing ruang. (salah satunya mereka alami ketika akan membawa sebuah patungnya ke dalam bus TransJogja, mereka mendapat larangan dari sopir bus tersebut). Mereka menenteng karya-karya itu ke beberapa titik di seantero kota Jogja. Karya-karya itu menjadi karya-karya yang mobil, dan bercengkerama dengan masing-masing pengguna ruang publik. Reaksi itulah yang kemudian mereka dokumentasikan dalam karya-karya berikutnya.

Projek pameran ini adalah salah satu rangkaian kelanjutan dari seluruh projek Invasi Objek Privat. Mereka kemudian mengembalikan karya-karya itu ke 'kandangn'ya di sebuah galeri seni (Roomate). Projek pameran ini sekaligus report dan dokumentasi kerja lapangan mereka dalam sebuah presentasi seni rupa. Untuk itu, dalam pameran ini mereka menyertakan tinggalan jejak dari apa yang mereka bawa ke ruang publik. Dokumentasi foto, lukisan, jejak-jejak karya, bekas-bekas respon publik, mereka pajang dalam ruang galeri. Di samping itu, karya-karya baru juga ditampilkan sebagai laporan apa yang kemudian mereka rasakan dan alami ketika mereka menghadirkan karya-karya mereka di luar ruang.


RAIN ROSIDI

Labels: