<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d4196416790633888123\x26blogName\x3dPasukan+Bumi\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://pasukanbumi.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://pasukanbumi.blogspot.com/\x26vt\x3d1040971366761521496', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
PASUKAN BUMI !

Friday, February 20, 2009
Privat X Publik, Personal X Publik

Semangat untuk mendekatkan jarak antara seni dan masyarakat sudah dimulai sejak tahun 1960an di Amerika. Semangat ini dipicu oleh gerakan postmodern pada saat itu yang merupakan sebuah manifestasi kritik terhadap apa yang selama ini dipercayai dalam modernisme atau lebih spesifik seni modern yaitu seni yang otonom dan memiliki nilai orisinalitas. Seni modern akhirnya dinilai sebagai seni yang elite yang terpisah dari masyarakat. Seniman diposisikan sebagai seseorang yang seolah terpisah dari tanggung jawab terhadap lingkungan masyarakatnya. Satu kecenderungan yang kuat pada tahun-tahun tersebut adalah dekonstruksi terhadap apa yang selama ini dipercayai oleh modernisme. Berkembang semacam semangat untuk mendekatkan atau menghilangkan jarak antara apa yang disebut ‘fine’ – sesuatu yang halus, tinggi, merupakan konsumsi intelektual hanya bagi beberapa orang dari golongan tertentu saja, dengan apa yang disebut ‘vernacular’ atau sesuatu yang biasa, hal yang sehari-hari. Sebuah semangat untuk menghilangkan jarak antara seni yang ‘tinggi’ dan seni yang ‘rendah’, untuk menolak bahwa seni memiliki nilai kebenaran yang intrinsik dan substansial, bahwa keindahan adalah sesuatu yang esensial bagi seni.

Postmodernisme percaya bahwa seni memiliki nilainya karena sebuah konstruksi.

Ia dapat bernilai bergantung pada bagaimana dan dimana ia ditempatkan. Salah satu yang karya yang cukup fenomenal pada saat itu adalah “Brillo Box” karya Andy Warhol, dibuat dan dipamerkan tahun 1964. “Brillo Box” merupakan apropriasi bentuk kemasan produk alat pembersih yang dibuat untuk membersihkan perangkat aluminium. Terbuat dari plywood dengan logo “Brillo” yang dicetak dengan teknik silkscreen. “Brillo” sendiri merupakan nama dari produk tersebut. Tahun tersebut sulit bagi kebanyakan orang untuk menerima itu sebagai sebuah karya seni. Karya ini menjadi semacam pintu bagi pemikiran-pemikiran lebih lanjut tentang tentang makna dan nilai sebuah karya seni, bagaimana sebuah objek dapat memiliki status karya seni (work of art). Pop art saat itu telah mencairkan batasan tentang apa yang bisa diterima sebagai benda seni dan non-seni yang dalam wacana seni rupa kontemporer dikenal dengan istilah “anything goes”. Dalam seni rupa kontemporer atau bisa dikatakan seni yang ada saat ini pada masa sekarang, merupakan sebuah objek kontingen. Artinya adalah dia dapat memiliki makna berdasarkan sebuah konstruksi tertentu. Maksud dari kontingen dapat diartikan bahwa seni baik itu berupa aktivitas atau objek (work of art) dapat mengandung pesan yang tersembunyi atau terselubung (hidden messages) yang membutuhkan sebuah penjelasan atau mediasi. Dalam berbagai bentuk mediasi inilah kita mengenal istilah strategi berkesenian atau politik kesenian atau juga seni yang politis. Politis bukan hanya berarti bahwa seni dapat merepresentasikan isu sosial dan politik, tetapi bahwa seni menjadi sangat politis dalam konstruksi visual yang diciptakan didalamnya, sebuah politik visual. Maka seni menjadi bermakna jika diposisikan atau ditempatkan di dalam suatu kondisi yang tepat, dalam ruang waktu tertentu, dan termasuk juga berhadapan dengan publik yang tepat yaitu publik seni itu sendiri. Dengan demikian menilai dan memaknai seni menuntut perspektif dan cara pandang lain diluar praktek seni itu sendiri. Makna atau nilai dalam seni (value of art) dalam tingkat tertentu dapat menjadi relatif tetapi bukan berarti tidak memiliki nilai.

Menilai keterbacaan teks dalam sebuah karya seni dihadapan publik, bergantung pada konsep yang kita sepakati bersama tentang apakah dan siapakah sebenarnya publik seni. Jika kita menyinggung istilah ‘publik’ dari perspektif yang sangat umum dalam membicarakan seni, saya yakin kita akan dengan sangat mudah kehilangan konteks pembicaraan. ‘Publik’ sering kali adalah sesuatu yang tidak jelas batasannya sama hal nya seperti ketika kita mendengar kata masyarakat. Masyarakat atau publik bisa siapapun dan dimana pun, bahkan dapat terlepas dari konteks ruang dan waktu. Dalam pandangan saya ini sering kali menjadi jebakan ketika seniman atau praktisi seni berusaha untuk menyinggung pesoalan bagaimana seni dapat menjadi dekat dan tidak berjarak dengan masyarakat. Seringkali kita lupa memperhitungkan siapakah masyarakatnya apabila kita berbicara mengenai sebuah praktek seni yang tidak berjarak dengan masyarakat atau publik. Apalagi jika karya seni tersebut dipercaya memiliki pesan bagi masyarakat.

Publik seni dalam hemat saya adalah suatu kelompok yang terbatas tetapi juga terbuka. Terbatas dalam arti bahwa publik seni adalah orang-orang yang telah terlebih dulu memiliki sebuah prakonsepsi atau prakondisi tentang praktek seni itu sendiri, yang tentunya ada dalam berbagai tingkatan. Terbuka, berarti juga bahwa siapapun tanpa terbatas dapat mengapresiasi karya seni atau bahkan menyerap semua kandungan makna yang diikhtiarkan oleh seniman atau praktisinya. Sebuah platform dapat saya katakan, dan sebuah strategi haruslah terlebih dahulu dibangun dan dirancang sebelum pesan dalam karya seni tersebut di-mediasi-kan. Jika tidak, maka seni tetap tidak dapat sepenuhnya menjadi tidak berjarak dengan masyarakat. Ia sebagai sebuah praktek akan tetap memiliki wilayah yang berjarak dengan publik. Hal ini berlaku tentunya pada karya-karya yang besifat ‘eksperimental’ dengan metode dan modus yang tidak lazim dalam konsepsi seni yang sudah mapan. Berbeda halnya ketika kita berhadapan dengan lukisan atau patung tentunya yang sudah lebih dulu dikenal secara mapan sebagai bentuk kesenian.

Tulisan ini dibuat meresponi tema yang digagas oleh sekelompok perupa muda ini, yaitu tentang bagaimana ruang publik menginvasi ruang privat, dan bagaimana bagi mereka seni dapat menjadi sebuah ‘serangan’ balik untuk menginvasi ruang publik tersebut. Sebuah gagasan yang dapat di elaborasi lebih jauh menjadi sebuah proyek kesenian yang menarik, walaupun mereka belum secara spesifik dan tegas menentukan ruang publik seperti apa yang dianggap menginvasi tersebut. Mengingat dewasa ini kita menghadapi sebuah pengertian yang relatif bahkan semu tentang konsep ruang, sesuatu yang privat dan publik.

Dalam suatu masyarakat dimana teknologi informasi merupakan nafas yang menghidupkan dinamika kota, agak sulit mengartikan dan memahami konsep ruang. Pengertian ruang sering tumpang tindih antara ruang fisik dan ruang maya atau virtual. Saat ini konsep ruang secara fisik sudah sedemikian didominasi oleh konsep ruang virtual atau maya. Bagi beberapa oran di kota-kota besar, tampak seperti ruang fisik seolah tidak menjadi sesuatu yang utama lagi. Manusia-manusia kota besar ‘haus’ akan pengalaman ruang dunia maya. Kemampuan teknologi untuk dapat menggandakan citra diri kita berikut ruang tempat kita hidup, membawa kita masuk dalam sebuah dunia simulasi (simulacrum) meminjam istilah Jean Baudrillard.

Simulasi yang mengaburkan pengertian kita akan apa yang nyata dan fantasi, tentang apa itu privat dan publik. Tampak seolah tidak ada lagi perbedaan yang tegas antara privat dan publik. Sesuatu yang bersifat privat atau pribadi bisa disaat yang bersamaan menjadi informasi publik. Kesadaran akan sesuatu yang privat atau personal dan publik sendiri merupakan kesadaran yang muncul dalam hidup orang-orang perkotaan baik itu disadari atau tidak. Kesadaran itu sendiri merefleksikan bagaimana individu dipisahkan dengan kelompok kolektif, subjek dengan objek. Sebuah alienasi dalam tingkat tertentu.

Seni rupa kontemporer sebagai sebuah model representasi merupakan sebuah praktek yang plural. Pluralitas ini membuat seni menjadi sangat menarik karena kapasitasnya untuk dapat merepresentasikan berbagai persoalan hidup. Tetapi tetap hal ini disatu sisi menjadi sebuah tantangan bagi perupa. Ketika perupa dihadapkan dengan sebuah persoalan yang harus dipahami dan juga dengan strategi untuk mengeksekusi gagasan kesenian mereka. Dalam tahun-tahun terakhir seni rupa Indonesia telah banyak diwarnai oleh karya-karya seni yang sarat dengan narasi personal yang bagaimanapun tetap menarik dalam praktek seni. Tetapi hal ini bagi saya dapat dikatakan melemahkan sensibilitas perupa dalam menangkap persoalan disekitar. Sehingga subject matter yang hadir dalam banyak karya sering kali menjadi kurang beragam dan menarik karena melulu menyoal narasi personal. Saya membayangkan seolah perupa berkarya dalam sebuah jarak yang cukup besar dengan lingkungan mereka, tempat dimana terletak berbagai macam subject matter yang menarik itu dibicarakan dalam seni. Dalam beberapa kesempatan perupa menjadi sangat naïf terhadap persoalan yang dihadapi. Seolah tidak banyak hal yang bisa ditampilkan dalam seni, sedangkan pada kenyataannya banyak sekali disekitar kita hal yang dapat menjadi subjek menarik dalam karya.

Persoalan yang diangkat melalui proyek pameran ini sesungguhnya merupakan sesuatu yang menarik sebagai sebuah tema. Tetapi tetap hal ini bergantung pada bagaimana sikap setiap perupa mengeksekusi gagasannya masing-masing. Mencoba untuk menginterpretasi proyek seni ini, bagi saya masih tampak ada jarak yang cukup lebar antara individu perupa dengan persoalan yang dicermati. Jika memang yang ingin disasar adalah kesadaran akan biasnya pengertian tentang apa yang privat dan publik, pesoalan privat dan publik barangkali perlu dibuat sedikir lebih spesifik. Sehingga tanda-tanda yang pada akhirnya dikonstruksi dalam karya tampak terlihat naif, seolah merujuk kepada gagasan atau narasi personal. Tetapi gagasan untuk melakukan proyek seni ini di tempat umum untuk kemudian dipresentasikan dalam sebuah pameran merupakan sesuatu yang menarik. Dengan elaborasi lebih lanjut proyek ini dapat menjadi sebuah proyek site spesifik yang menarik yang jarang kita lihat dilakukan oleh perupa di Indonesia.

Sebagai kesimpulan, berkaitan dengan praktek seni yang plural dimana seharusnya tidak ada jarak antara seni dan masyarakat, dimana apapun dapat menjadi seni dan direpresentasikan melalui seni, maka diperlukan sensibilitas seorang perupa yang kuat dalam memahami dua wilayah yaitu wilayah luar dimana terdapat persoalan dan wilayah dalam dimana perupa bergelut dengan media, startegi dan modus visual. Akhirnya adalah tantangan bagi seorang perupa untuk menjadi seorang observer yang cukup tajam dalam melakukan ‘riset’ untuk memahami persoalan secara mendalam, berikut juga tantangan untuk menemukan bahasa visualnya sendiri terutama saat ini setiap perupa dihadapkan dengan apa yang dapat disebut ‘fashion’ dalam seni rupa kontemporer.

Albert Yonathan Setyawan,

Bandung, 28 Desember 2008

Labels: